P P O K
Penyakit Paru Obstruksi Kronis
Penyakit Paru Obstruksi Kronis
(PPOK/COPD – Chronic Obstructive Pulmonary Disease ) merupakan suatu kelompok
gangguan pulmoner yang ditandai dengan adanya obstruksi permanent
(irreversible) terhadap aliran ekspirasi udara. Peradangan kronis. Sebagai respon
dari asap rokok yang dihisap, gas beracun, dan debu, merusak saluran napas dan
parenkim paru. PPOK dahulunya diklasifikasikan menjadi subtype bronchitis
kronik dan emfisema, walaupun kebanyakan pasien memiliki keduanya. Bronkitis
kronis didefinisikan sebagai batuk produktif kronis selama lebih dari 2 tahun
dan emfisema ditandai oleh adanya kerusakan pada dinding alveola yang
menyebabkan peningkatan ukuran ruang udara distal yang abnormal.
Membedakan antara PPOK dengan asma
sangat penting karena asma merupakan
sumbatan saluran napas yang intermitten dan penanganan asma berbeda dengan
PPOK. Hiperresponsif bronchial (didefinisikan sebagai perubahan periodic pada forced
expiratory volume dalam waktu 1 detik [FEV1]), dapat ditemukan pula pada
PPOK walaupun biasanya dengan magnitude yang lebih rendah dibanding pada asma.
Perbedaan utama adalah asma merupakan obstruksi saluran napas reversible,
dimana PPOK merupakan obstruksi saluran napas yang permanent. Selain itu
terdapat perbedaan manifestasi lainnya antara asma dengan PPOK yang ditunjukkan
pada tabel 1. Namun demikian, penelitian telah mengindikasikan pengendalian asma
kronis yang buruk pada akhirnya menyebabkan perubahan struktur dan obstruksi
saluran napas yang persisten, sehingga dalam kasus seperti ini asma telah
berevolusi menjadi PPOK tanpa adanya riwayat merokok.
Etiology
Peradangan merupakan elemen kunci terhadap
patogenesis PPOK. Inhalasi asap rokok atau gas berbahaya lainnya mengaktifasi
makrofag dan sel epitel untuk melepaskan faktor kemotaktik yang merekrut lebih
banyak makrofag dan neutrofil. Kemudian, makrofag dan neutrofil ini melepaskan
protease yang merusak elemen struktur pada paru-paru. Protease sebenarnya dapat
diatasi dengan antiprotease endogen namun tidak berimbangnya antiprotease
terhadap dominasi aktivitas protease yang pada akhirnya akan menjadi
predisposisi terhadap perkembangan PPOK. Pembentukan spesies oksigen yang
sangat reaktif seperti superoxide, radikal bebas hydroxyl dan hydrogen peroxide
telah diidentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi terhadap patogenesis
karena substansi ini dapat meningkatkan penghancuran antiprotease.
Inflamasi kronis mengakibatkan
metaplasia pada dinding epitel bronchial, hipersekresi mukosa, peningkatan
massa otot halus, dan fibrosis. Terdapat pula disfungsi silier pada epitel,
menyebabkan terganggunya klirens produksi mucus yang berlebihan. Secara klinis,
proses inilah yang bermanifestasi sebagai bronchitis kronis, ditandai oleh
batuk produktif kronis. Pada parenkim paru, penghancuran elemen structural yang
dimediasi protease menyebabkan emfisema. Kerusakan sekat alveolar menyebabkan
berkurangnya elastisitas recoil pada paru dan kegagalan dinamika saluran udara
akibat rusaknya sokongan pada saluran udara kecil non-kartilago. Keseluruhan
proses ini mengakibatkan obstruksi paten pada saluran napas dan timbulnya
gejala patofisiologis lainnya yang karakteristik untuk PPOK (Tabel 2).
Obstruksi saluran udara menghasilkan
alveoli yang tidak terventilasi atau kurang terventilasi; perfusi berkelanjutan
pada alveoli ini akan menyebabkan hypoxemia (PaO2 rendah) oleh
ketidakcocokan antara ventilasi dan aliran darah (V/Q tidak sesuai). Ventilasi
dari alveoli yang tidak berperfusi atau kurang berperfusi meningkatkan ruang
buntu (Vd), menyebabkan pembuangan CO2 yang tidak
efisien. Hiperventilasi biasanya akan terjadi untuk mengkompensasi keadaan ini,
yang kemudian akan meningkatkan kerja yang dibutuhkan untuk mengatasi
resistensi saluran napas yang telah meningkat, pada akhirnya proses ini gagal,
dan terjadilah retensi CO2 (hiperkapnia) pada beberapa pasien dengan PPOK berat.
Tabel
1 Perbandingan gejala antara PPOK dan asma
|
||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||
Tabel 2 Patogenesis PPOK
|
||||||||||||||||||||||||
|
Faktor Resiko PPOK
Merokok sekarang ini merupakan
faktor resiko utama untuk terjadinya PPOK di negara maju. Sebanyak 85% hingga
90% pasien dengan PPOK memiliki riwayat merokok. Namun dilain pihak, hanya 15%
dari perokok yang akan mengidap PPOK, mengindikasikan sepertinya terdapat
faktor konstitusional atau genetic yang menentukan resiko berkembangnya
obstruksi saluran napas pada seseorang. Defisiensi α1-anti-trypsin
merupakan satu-satunya faktor resiko terkait genetic yang diketahui sampai saat
ini, namun kecendrungan PPOK untuk berkembang pada keluarga tertentu
mengindikasikan terdapat faktor herediter lainnya yang belum teridentifikasi.
Polusi udara seperti paparan okupansional terhadap debu dan gas telah terkait
dengan perkembangan PPOK. Faktor resiko lainnya yang berimplikasi klinis
termasuk adanya hiperresponsif bronchial, bayi berat lahir rendah, gangguan
pertumbuhan paru pada janin, dan status sosioekonomi rendah.
Manifestasi klinis
Gejala cardinal dari PPOK adalah
batuk dan ekspektorasi, dimana cenderung meningkat dan maksimal pada pagi hari
dan menandakan adanya pengumpulan sekresi semalam sebelumnya. Batuk produktif,
pada awalnya intermitten, dan kemudian terjadi hampir tiap hari seiring waktu.
Sputum berwarna bening dan mukoid, namun dapat pula menjadi tebal, kuning,
bahkan kadang ditemukan darah selama terjadinya infeksi bakteri respiratorik.
Sesak napas setelah beraktivitas
berat terjadi seiring dengan berkembangnya penyakit. Pada keadaan yang berat,
sesak napas bahkan terjadi dengan aktivitas minimal dan bahkan pada saat
istirahat akibat semakin memburuknya abnormalitas pertukaran udara. Pada
penyakit yang moderat hingga berat , pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan
penurunan suara napas, ekspirasi yang memanjang, rhonchi, dan hiperresonansi
pada perkusi. Karena penyakit yang berat kadang berkomplikasi menjadi
hipertensi pulmoner dan cor pulmonale, tanda gagal jantung kanan (termasuk
distensi vena sentralis, hepatomegali, dan edema tungkai) dapat pula ditemukan.
Clubbing pada jari bukan ciri khas PPOK dan ketika ditemukan, kecurigaan
diarahkan pada ganguan lainnya, terutama karsinoma bronkogenik.
Diagnosis
Riwayat lengkap dan pemeriksaan
fisik yang mendetail penting untuk menegakkan diagnosis PPOK. Akan tetapi
pemeriksaan fungsi paru sangat penting untuk diagnosis Pemeriksaan Fungsi Paru
Diagnosis PPOK didukung dengan
penemuan obstruksi saluran udara persisten dengan menggunakan spirometri
setelah pemberian bronkodilator (didefinisikan dengan FEV1/FVC kurang dari
nilai prediksi ). Pengukuran volume paru dapat memperlihatkan adanya
peningkatan pada volume residual dan kapasitas total paru walaupun diagnosis
obstruksi saluran napas hanya dapat diketahui dengan keberadaan abnormalitas
FEV1/FVC. Kapasitas keseluruhan karbon dioksida biasanya menurun dengan adanya
emfisema namun normal pada pasien dengan bronchitis kronik.
Fungsi pulmoner biasanya menurun
secara progresif dan walaupun diprediksi kurang akurat pada pasien tertentu,
nilai rata-rata tahunan penurunan FEV1 yaitu 50 hingga 100 mL. Penurunan FEV1 dipercepat
pada pasien yang tetap merokok. Aktivitas menurun secara bermakna ketika FEV1
hanya berkisar 1 L. FEV1 pasca bronkodilator, performa setelah berjalan selama
6 menit, derajat sesak napas, dan index massa tubuh telah diidentifikasi
sebagai predictor harapan hidup.
Thorax Radiograph dan
Pemeriksaan lainnya
Foto Thorax (CXR/chest
X-Ray) memperlihatkan hiperinflasi paru, diafragma datar, bayangan jantung
menyempit, gambaran bullous pada proyeksi frontal, dan peningkatan ruang udara
interkostal pada proyeksi lateral. Akan tetapi, foto thorax dapat normal pada
stadium awal penyakit ini dan bukan tes yang sensitive untuk diagnosis PPOK.
Perubahan emfisematosa lebih mudah terlihat pada CT-Scan thorax namun
pemeriksaan ini tidak cost-effective atau modalitas yang
direkomendasikan untuk skrining PPOK. Walaupun pencitraan dapat memperlihatkan
keberadaan PPOK, hanya spirometri yang merupakan standar kriteria untuk
menegakkan diagnosis obstruksi saluran napas.
Analisa gas darah juga
direkomendasikan ketika FEV1 bernilai 40% di bawah nilai prediksi, dengan
adanya tanda cor pulmonale dan selama eksaserbasi akut berat untuk menilai
oksigenasi dan kemungkinan adanya hiperkapnia.
Pemeriksaan α1-antitrypsin juga
direkomendasikan untuk pasien PPOK dengan umur yang lebih muda dibanding
rata-rata (<45>
Penatalaksanaan
Panduan konsensus penanganan terkini
bergantung pada tingkat keparahan PPOK, yang diketahui dari FEV1 (Gambar 1).
Intervensi satu-satunya sejauh ini yang telah terbukti memperbaiki harapan
hidup adalah berhenti merokok dan terapi oksigen jangka panjang (LTOT/Long-Term
Oxygen Therapy) untuk pasien dengan hypoxemia yang bermakna pada saat
istirahat. Maka dari itu, pasien dengan PPOK sebaiknya didorong untuk berhenti
merokok. Pasien yang tidak merokok dihindarkan dari paparan polusi lingkungan
atau okupansional yang diduga merupakan faktor yang berperan dalam perkembangan
penyakitnya. Vaksinasi influenza sebaiknya diberikan tiap tahun, biasanya pada
musim semi awal. Vaksin pneumokokus direkomendasikan ; imunitas semakin menurun
setelah 5 tahun dan revaksinasi mungkin dibutuhkan pada pasien dengan resiko
tinggi infeksi pneumokokkus serius.
Gambar 1. Klasifikasi tingkat
keparahan PPOK dan pilihan terapi. (Diadaptasi dari Global Strategy for the
Diagnosis, Management and Prevention of COPD, Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease (GOLD) 2006. Available from: http://www.goldcopd.org,
with permission).
Bronkodilator
Bronkodilator dapat diklasifikasikan
sebagai agen kerja singkat dan kerja panjang dan terbagi lagi menjadi tiga
kelas farmakologis utama (Tabel 3). Bronkodilator kerja singkat mungkin
satu-satunya merupakan medikasi yang diperlukan untuk meringankan gejala pada
pasien dengan penyakit ringan. Dengan meningkatnya keparahan PPOK,
bronkodilator kerja panjang mungkin dapat memberikan manfaat simptomatik untuk
periode yang lama. Semua pasien simptomatik dengan diagnosis PPOK sebaiknya
diberikan inhalasi bronkodilator percobaan, tak peduli apakah hasil spirometri
memperlihatkan respon bronkodilator yang bermakna atau tidak.
Antikolinergik dapat digunakan
sebagai penanganan lini pertama untuk PPOK. Ipratropium bromide merupakan antikolinergik
kerja singkat yang buruk diabsorbsi oleh saluran napas jika diberikan sebagai
aerosol dan memiliki sedikit efek terhadap klirens mukosilier. Tiotropium
merupakan antikolinergik kerja panjang yang telah terbukti mempertahankan FEV1
yang tinggi. Penggunaan antikolinergik sebagai agen farmakologis pada PPOK
tidak seefektif penggunaannya pada asma.
β2-agonis diduga
menyebabkan bronkodilatasi dengan menstimulasi adenyl cyclase dan meningkatkan
cyclic adenosine monophosphat (cAMP) intraseluler. β2-agonis dapat
diberikan dengan kombinasi antikolinergik untuk mengoptimalkan efek
bronkodilator.
Bronkodilator dapat diberikan dengan
inhaler dosis terukur (MDI/meter-dosed inhaler) menggunakan peralatan tertentu
atau sebagai inhaler bubuk kering (DPI/dry-powder inhaler), yang memberikan
dosis terukur, pemberian ditargetkan pada saluran napas sehingga meminimalisir
efek samping sistemik. Nebulizer memberikan dosis yang lebih besar, menggunakan
alat yang besar, dan membutuhkan keterampilan dalam perawatan mesin dan
penggunaan medikasi. Maka MDI yang digunakan pada spacer device
merupakan metode yang lebih dipilih dalam pemberian medikasi inhalasi.
Methylxanthines
Theophylline telah menunjukkan
meringannya gejala PPOK namun obat ini memiliki masa terapeutik yang singkat.
Maka bronkodilator lainnya, jika tersedia, lebih dianjurkan. Theophylline
diduga memberikan manfaat dengan inhibisi phosphodiesterase dan meningkatkan
kadar cAMP. Obat ini juga diperkirakan meningkatkan kontraktilitas diaphragma
dengan meningkatkan aliran darah diaphragma. Efek beneficial pada fungsi
diaphragma ini dapat meminimalkan atau mencegah kelelahan diaphragma atau
kegagalan respiratorik pada PPOK berat. Monitoring kadar obat secara periodic
dan penggunaan preparat lepas-lambat direkomendasikan
Table 3 Bronchodilators
|
||||||||||
|
||||||||||
Table 4 Indikasi penggunaan terapi
oksigen jangka panjang berkelanjutan
|
||||||||||
|
Kortikosteroid
Kortikosteroid inhalasi sebaiknya
dipertimbangkan pada PPOK kasus berat hingga sangat berat (FEV1 <50%
style=""> pada pasien asma.
Rehabilitasi Pulmoner
Jika ditujukan untuk pasien dengan
PPOK (atau gangguan kesulitan pernapasan lainnya) program yang komprehensif
pada rehabilitasi pulmoner dapat meningkatkan kapasitas kerja, fungsi
psikososial, dan kualitas hidup. Program ini tidak memperpanjang hidup atau
fungsi pulmoner, namun telah terbukti mengurangi frekuensi rawat inap.
Terapi Oksigen Jangka
Panjang (Long Term Oxygen Therapy/LTOT)
Oksigena
merupakan medikasi inhalasi dan LTOT dapat memperpanjang harapan hidup dan
meningkatkan kualitas hidup pada pasien tertentu dengan PPOK (Tabel 4).
Kriteria untuk menggunakan oksigen bukan berdasar pada sesak napas namun lebih
dari hasil pemeriksaan baku untuk hypoxemia pada saat istirahat dan
beraktivitas yang dilakukan pada laboratorium fungsi pulmoner. Sesak napas
tidak selalu berkaitan dengan hypoxemia; banyak pasien sesak namun tidak
hypoxemic dan banyak pula pasien yang hypoxemia namun tidak mengalami sesak
napas. Terdapat kriteria LTOT yang diakui secara meluas untuk pasien PPOK
berdasarkan kadar hypoxemia. LTOT sebaiknya digunakan setidaknya 15 jam per
hari untuk memperoleh manfaat harapan hidup. Terapi ini biasanya dilakukan
dengan mengenakan kanula nasal yang disambung dengan sumber oksigen. Terdapat
unit oxygen yang sangat portabel dan alat yang membantu pengaliran oxygen ini.
Penanganan Invasif
Bullectomy, Bedah reduksi volume
paru, dan tranplantasi paru merupakan opsi bedah yang dapat dipertimbangkan
pada pasien dengan PPOK yang sangat berat. Rujukan kepada spesialis bedah
thorax diindikasikan untuk menilai lebih lanjut kecocokan prosedur ini untuk
pasien.
Penanganan Eksaserbasi
Pada umumnya, semakin FEV1 menurun
maka eksasebasi lebih sering terjadi. Kebanyakan dipresipitasi oleh infeksi
respiratorik yang biasanya akibat virus namun dapat pula akibat bakteri yang
biasanya sering ditemukan pada saluran napas bagian atas. Eksaserbasi moderat
atau berat ditandai dengan memburuknya dyspnea, batuk, dan peningkatan produksi
dan purulensi dari sputum yang membaik jika diberikan antibiotic yang mencakup
Haemophilus influenzae, pneumokokus, dan Moraxella catarrhalis. Cakupan
antibiotic pseudomonas aeruginosa perlu dipertimbangkan pada pasien yang telah
mengalami eksaserbasi sebanyak tiga kali atau lebih pada tahun sebelumnya. Kortikosteroid
oral dan intravena diberikan pada eksaserbasi berat yang telah dijelaskan di
atas. Ventilasi positif mekanik noninfasif sebaiknya dipertimbangkan karena
dapat mencegah dilakukannya ventilasi mekanik invasive (yang membutuhkan
intubasi) pada beberapa pasien.
bat saluran nafas atau obat yang
bekerja pada sistem pernafasan terbagi dari 3 golongan yaitu :
Asma
adalah suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami penyempitan karena
hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan;
dimana penyempitan ini bersifat sementara.
PPOK
singkatan dari Penyakit Paru Obstruktif Kronis, artinya penyakit paru yang
menghambat kerja paru-paru secara normal yang menahun.
Dua bentuk
utama dari penyakit PPOK ialah Bronkhitis kronis dan Emfisema, Pada
kenyataannya kedua bentuk itu sering bersamaan dan disebut sebagai Bronkhitis –
Emfisema.
Bronkhitis
Kronis maksudnya adalah peradangan saluran napas kronis ditandai dengan batuk
berdahak minimal tiga bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun
berturut-turut dan bukan disebabkan oleh penyakit lain.
Sedangkan
Emfisema adalah pelebaran gelembung-gelembung paru disertai kerusakan
dindingnya sehingga beberapa gelembung paru menjadi satu.
Keluhan
dan gejala utama PPOK adalah sesak napas yang menetap dan makin lama makin
berat. Gambaran kliniknya, biasanya orang berusia di atas 45 tahun dengan
riwayat merokok atau bekas perokok dan merasa cepat capai bila berjalan cepat,
naik tangga. Pada penderita PPOK yang sudah berat dapat dilihat pada dada yang
menggembung (seperti gentong) dan batuk yang selalu bereak.
Bentuk
sediaan obat saluran nafas untuk asma dan PPOK saat ini sudah sangat beragam
sehingga lebih memudahkan dan meningkatkan kedisiplinan penggunanya. Mulai dari
tablet atau kapsul lepas lambat, inhaler, diskhaler, rotahaler bahkan ada yang
tetes untuk bayi bagi yang tidak punya alat nebulizer.
Untuk permasalahan batuk dan pilek, banyak sekali sediaan
obat saluran nafas golongan ini dan mereknya yang dijual bebas di pasaran
Indonesia. Sehingga dibutuhkan ketelitian pembeli dalam memilih obat saluan
nafas ini. Yang perlu diperhatikan adalah jenis batuk penderita apakah batuk
kering atau batuk berdahak.
Untuk
masalah pilek yang perlu diperhatikan apakah yang mengandung zat yang
mengurangi konsentrasi atau tidak, saat ini sudah ada dalam satu kemasan dua
macam obat untuk waktu beraktivitas dan waktu istirahat.
Obat saluran nafas golongan dekongestan digunakan dengan
tujuan untuk memperlancar pernafasan di hidung. Bentuk sediaan yang tersedia
bisa tablet lepas lambat, sirup dan drop, balsam, inhaler, tetes hidung atau
semprot hidung. Untuk pemakaian semprot hidung baiknya konsultasi dulu ke
dokter.
Untuk pemilihan obat saluran nafas
yang tepat ada baiknya anda harus periksakan diri dan konsultasi ke dokter .
Di apotik online medicastore anda
dapat mencari obat saluran nafas dengan merk yang berbeda dengan isi yang sama
secara mudah dengan mengetikkan di search engine medicastore. Sehingga anda
dapat memilih dan beli obat saluran nafas sesuai dengan kebutuhan anda.
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK/COPD – Chronic Obstructive Pulmonary Disease ) merupakan suatu kelompok gangguan pulmoner yang ditandai dengan adanya obstruksi permanent (irreversible) terhadap aliran ekspirasi udara. Peradangan kronis. Sebagai respon dari asap rokok yang dihisap, gas beracun, dan debu, merusak saluran napas dan parenkim paru. PPOK dahulunya diklasifikasikan menjadi subtype bronchitis kronik dan emfisema, walaupun kebanyakan pasien memiliki keduanya. Bronkitis kronis didefinisikan sebagai batuk produktif kronis selama lebih dari 2 tahun dan emfisema ditandai oleh adanya kerusakan pada dinding alveola yang menyebabkan peningkatan ukuran ruang udara distal yang abnormal.
Membedakan antara PPOK dengan asma sangat penting karena asma merupakan sumbatan saluran napas yang intermitten dan penanganan asma berbeda dengan PPOK. Hiperresponsif bronchial (didefinisikan sebagai perubahan periodic pada forced expiratory volume dalam waktu 1 detik [FEV1]), dapat ditemukan pula pada PPOK walaupun biasanya dengan magnitude yang lebih rendah dibanding pada asma. Perbedaan utama adalah asma merupakan obstruksi saluran napas reversible, dimana PPOK merupakan obstruksi saluran napas yang permanent. Selain itu terdapat perbedaan manifestasi lainnya antara asma dengan PPOK yang ditunjukkan pada tabel 1. Namun demikian, penelitian telah mengindikasikan pengendalian asma kronis yang buruk pada akhirnya menyebabkan perubahan struktur dan obstruksi saluran napas yang persisten, sehingga dalam kasus seperti ini asma telah berevolusi menjadi PPOK tanpa adanya riwayat merokok.
Etiology
Peradangan merupakan elemen kunci terhadap patogenesis PPOK. Inhalasi asap rokok atau gas berbahaya lainnya mengaktifasi makrofag dan sel epitel untuk melepaskan faktor kemotaktik yang merekrut lebih banyak makrofag dan neutrofil. Kemudian, makrofag dan neutrofil ini melepaskan protease yang merusak elemen struktur pada paru-paru. Protease sebenarnya dapat diatasi dengan antiprotease endogen namun tidak berimbangnya antiprotease terhadap dominasi aktivitas protease yang pada akhirnya akan menjadi predisposisi terhadap perkembangan PPOK. Pembentukan spesies oksigen yang sangat reaktif seperti superoxide, radikal bebas hydroxyl dan hydrogen peroxide telah diidentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi terhadap patogenesis karena substansi ini dapat meningkatkan penghancuran antiprotease.
Inflamasi kronis mengakibatkan metaplasia pada dinding epitel bronchial, hipersekresi mukosa, peningkatan massa otot halus, dan fibrosis. Terdapat pula disfungsi silier pada epitel, menyebabkan terganggunya klirens produksi mucus yang berlebihan. Secara klinis, proses inilah yang bermanifestasi sebagai bronchitis kronis, ditandai oleh batuk produktif kronis. Pada parenkim paru, penghancuran elemen structural yang dimediasi protease menyebabkan emfisema. Kerusakan sekat alveolar menyebabkan berkurangnya elastisitas recoil pada paru dan kegagalan dinamika saluran udara akibat rusaknya sokongan pada saluran udara kecil non-kartilago. Keseluruhan proses ini mengakibatkan obstruksi paten pada saluran napas dan timbulnya gejala patofisiologis lainnya yang karakteristik untuk PPOK (Tabel 2).
Obstruksi saluran udara menghasilkan alveoli yang tidak terventilasi atau kurang terventilasi; perfusi berkelanjutan pada alveoli ini akan menyebabkan hypoxemia (PaO2 rendah) oleh ketidakcocokan antara ventilasi dan aliran darah (V/Q tidak sesuai). Ventilasi dari alveoli yang tidak berperfusi atau kurang berperfusi meningkatkan ruang buntu (Vd), menyebabkan pembuangan CO2 yang tidak efisien. Hiperventilasi biasanya akan terjadi untuk mengkompensasi keadaan ini, yang kemudian akan meningkatkan kerja yang dibutuhkan untuk mengatasi resistensi saluran napas yang telah meningkat, pada akhirnya proses ini gagal, dan terjadilah retensi CO2 (hiperkapnia) pada beberapa pasien dengan PPOK berat.
Tabel 1 Perbandingan gejala antara PPOK dan asma |
||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||
Tabel 2 Patogenesis PPOK |
||||||||||||||||||||||||
|
Faktor Resiko PPOK
Merokok sekarang ini merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya PPOK di negara maju. Sebanyak 85% hingga 90% pasien dengan PPOK memiliki riwayat merokok. Namun dilain pihak, hanya 15% dari perokok yang akan mengidap PPOK, mengindikasikan sepertinya terdapat faktor konstitusional atau genetic yang menentukan resiko berkembangnya obstruksi saluran napas pada seseorang. Defisiensi α1-anti-trypsin merupakan satu-satunya faktor resiko terkait genetic yang diketahui sampai saat ini, namun kecendrungan PPOK untuk berkembang pada keluarga tertentu mengindikasikan terdapat faktor herediter lainnya yang belum teridentifikasi. Polusi udara seperti paparan okupansional terhadap debu dan gas telah terkait dengan perkembangan PPOK. Faktor resiko lainnya yang berimplikasi klinis termasuk adanya hiperresponsif bronchial, bayi berat lahir rendah, gangguan pertumbuhan paru pada janin, dan status sosioekonomi rendah.
Manifestasi klinis
Gejala cardinal dari PPOK adalah batuk dan ekspektorasi, dimana cenderung meningkat dan maksimal pada pagi hari dan menandakan adanya pengumpulan sekresi semalam sebelumnya. Batuk produktif, pada awalnya intermitten, dan kemudian terjadi hampir tiap hari seiring waktu. Sputum berwarna bening dan mukoid, namun dapat pula menjadi tebal, kuning, bahkan kadang ditemukan darah selama terjadinya infeksi bakteri respiratorik.
Sesak napas setelah beraktivitas berat terjadi seiring dengan berkembangnya penyakit. Pada keadaan yang berat, sesak napas bahkan terjadi dengan aktivitas minimal dan bahkan pada saat istirahat akibat semakin memburuknya abnormalitas pertukaran udara. Pada penyakit yang moderat hingga berat , pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan penurunan suara napas, ekspirasi yang memanjang, rhonchi, dan hiperresonansi pada perkusi. Karena penyakit yang berat kadang berkomplikasi menjadi hipertensi pulmoner dan cor pulmonale, tanda gagal jantung kanan (termasuk distensi vena sentralis, hepatomegali, dan edema tungkai) dapat pula ditemukan. Clubbing pada jari bukan ciri khas PPOK dan ketika ditemukan, kecurigaan diarahkan pada ganguan lainnya, terutama karsinoma bronkogenik.
Diagnosis
Riwayat lengkap dan pemeriksaan fisik yang mendetail penting untuk menegakkan diagnosis PPOK. Akan tetapi pemeriksaan fungsi paru sangat penting untuk diagnosis Pemeriksaan Fungsi Paru
Diagnosis PPOK didukung dengan penemuan obstruksi saluran udara persisten dengan menggunakan spirometri setelah pemberian bronkodilator (didefinisikan dengan FEV1/FVC kurang dari nilai prediksi ). Pengukuran volume paru dapat memperlihatkan adanya peningkatan pada volume residual dan kapasitas total paru walaupun diagnosis obstruksi saluran napas hanya dapat diketahui dengan keberadaan abnormalitas FEV1/FVC. Kapasitas keseluruhan karbon dioksida biasanya menurun dengan adanya emfisema namun normal pada pasien dengan bronchitis kronik.
Fungsi pulmoner biasanya menurun secara progresif dan walaupun diprediksi kurang akurat pada pasien tertentu, nilai rata-rata tahunan penurunan FEV1 yaitu 50 hingga 100 mL. Penurunan FEV1 dipercepat pada pasien yang tetap merokok. Aktivitas menurun secara bermakna ketika FEV1 hanya berkisar 1 L. FEV1 pasca bronkodilator, performa setelah berjalan selama 6 menit, derajat sesak napas, dan index massa tubuh telah diidentifikasi sebagai predictor harapan hidup.
Thorax Radiograph dan Pemeriksaan lainnya
Foto Thorax (CXR/chest X-Ray) memperlihatkan hiperinflasi paru, diafragma datar, bayangan jantung menyempit, gambaran bullous pada proyeksi frontal, dan peningkatan ruang udara interkostal pada proyeksi lateral. Akan tetapi, foto thorax dapat normal pada stadium awal penyakit ini dan bukan tes yang sensitive untuk diagnosis PPOK. Perubahan emfisematosa lebih mudah terlihat pada CT-Scan thorax namun pemeriksaan ini tidak cost-effective atau modalitas yang direkomendasikan untuk skrining PPOK. Walaupun pencitraan dapat memperlihatkan keberadaan PPOK, hanya spirometri yang merupakan standar kriteria untuk menegakkan diagnosis obstruksi saluran napas.
Analisa gas darah juga direkomendasikan ketika FEV1 bernilai 40% di bawah nilai prediksi, dengan adanya tanda cor pulmonale dan selama eksaserbasi akut berat untuk menilai oksigenasi dan kemungkinan adanya hiperkapnia.
Pemeriksaan α1-antitrypsin juga direkomendasikan untuk pasien PPOK dengan umur yang lebih muda dibanding rata-rata (<45>
Penatalaksanaan
Panduan konsensus penanganan terkini bergantung pada tingkat keparahan PPOK, yang diketahui dari FEV1 (Gambar 1). Intervensi satu-satunya sejauh ini yang telah terbukti memperbaiki harapan hidup adalah berhenti merokok dan terapi oksigen jangka panjang (LTOT/Long-Term Oxygen Therapy) untuk pasien dengan hypoxemia yang bermakna pada saat istirahat. Maka dari itu, pasien dengan PPOK sebaiknya didorong untuk berhenti merokok. Pasien yang tidak merokok dihindarkan dari paparan polusi lingkungan atau okupansional yang diduga merupakan faktor yang berperan dalam perkembangan penyakitnya. Vaksinasi influenza sebaiknya diberikan tiap tahun, biasanya pada musim semi awal. Vaksin pneumokokus direkomendasikan ; imunitas semakin menurun setelah 5 tahun dan revaksinasi mungkin dibutuhkan pada pasien dengan resiko tinggi infeksi pneumokokkus serius.
Gambar 1. Klasifikasi tingkat keparahan PPOK dan pilihan terapi. (Diadaptasi dari Global Strategy for the Diagnosis, Management and Prevention of COPD, Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2006. Available from: http://www.goldcopd.org, with permission).
Bronkodilator
Bronkodilator dapat diklasifikasikan sebagai agen kerja singkat dan kerja panjang dan terbagi lagi menjadi tiga kelas farmakologis utama (Tabel 3). Bronkodilator kerja singkat mungkin satu-satunya merupakan medikasi yang diperlukan untuk meringankan gejala pada pasien dengan penyakit ringan. Dengan meningkatnya keparahan PPOK, bronkodilator kerja panjang mungkin dapat memberikan manfaat simptomatik untuk periode yang lama. Semua pasien simptomatik dengan diagnosis PPOK sebaiknya diberikan inhalasi bronkodilator percobaan, tak peduli apakah hasil spirometri memperlihatkan respon bronkodilator yang bermakna atau tidak.
Antikolinergik dapat digunakan sebagai penanganan lini pertama untuk PPOK. Ipratropium bromide merupakan antikolinergik kerja singkat yang buruk diabsorbsi oleh saluran napas jika diberikan sebagai aerosol dan memiliki sedikit efek terhadap klirens mukosilier. Tiotropium merupakan antikolinergik kerja panjang yang telah terbukti mempertahankan FEV1 yang tinggi. Penggunaan antikolinergik sebagai agen farmakologis pada PPOK tidak seefektif penggunaannya pada asma.
β2-agonis diduga menyebabkan bronkodilatasi dengan menstimulasi adenyl cyclase dan meningkatkan cyclic adenosine monophosphat (cAMP) intraseluler. β2-agonis dapat diberikan dengan kombinasi antikolinergik untuk mengoptimalkan efek bronkodilator.
Bronkodilator dapat diberikan dengan inhaler dosis terukur (MDI/meter-dosed inhaler) menggunakan peralatan tertentu atau sebagai inhaler bubuk kering (DPI/dry-powder inhaler), yang memberikan dosis terukur, pemberian ditargetkan pada saluran napas sehingga meminimalisir efek samping sistemik. Nebulizer memberikan dosis yang lebih besar, menggunakan alat yang besar, dan membutuhkan keterampilan dalam perawatan mesin dan penggunaan medikasi. Maka MDI yang digunakan pada spacer device merupakan metode yang lebih dipilih dalam pemberian medikasi inhalasi.
Methylxanthines
Theophylline telah menunjukkan meringannya gejala PPOK namun obat ini memiliki masa terapeutik yang singkat. Maka bronkodilator lainnya, jika tersedia, lebih dianjurkan. Theophylline diduga memberikan manfaat dengan inhibisi phosphodiesterase dan meningkatkan kadar cAMP. Obat ini juga diperkirakan meningkatkan kontraktilitas diaphragma dengan meningkatkan aliran darah diaphragma. Efek beneficial pada fungsi diaphragma ini dapat meminimalkan atau mencegah kelelahan diaphragma atau kegagalan respiratorik pada PPOK berat. Monitoring kadar obat secara periodic dan penggunaan preparat lepas-lambat direkomendasikan
Table 3 Bronchodilators |
||||||||||
|
||||||||||
Table 4 Indikasi penggunaan terapi oksigen jangka panjang berkelanjutan |
||||||||||
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar